Sabtu, 28 Agustus 2010

berburu keutamaan UKT di akhir Romadhon


Memasuki hari-hari terakhir romadhan tahun ini, banyak dari kita mulai disibukkan dengan berbagai hal.
Bagi sebagian besar orang, kur-kuran romadhon (kur-kuran= bilangan antara 20 s.d. 30) merupakan waktu yang cukup melelahkan. Sebab disatu sisi banyak orang mulai berlomba-lomba meningkatkan ibadah mereka, biasanya salah satu dari malam terakhir tersebut merupakan malam lailatul qodar- malam yang keutamaan dan kemuliannya lebih dari 1000 bulan- (HR Bukhari, VII/147, hadits no. 1880). Disisi lain hari-hari terakhir romadhan juga berarti saat dimana ibu2 sibuk menyiapkan lebaran untuk anak-anak dan keluarga, maka tak heran jika pasar ataupun mall cukup rame dan berjubel pada saat-saat ini. Selain itu, setiap akhir bulan suci ini terdapat sebuah hajatan besar yang hanya ada di Indonesia yakni prosesi tahunan  yang harus dijalani oleh sebagian mereka dan juga saya, mudik lebaran. kami-kami dalam prosesi ini selalu sibuk dengan bagaimana momen tersebut akan dilewati, apakah tiket yang diperlukan sudah di-tangan? sangu-nya sudah cukup, ataukah karena alasan keduanya dan keterbatasan waktu harus merelakan untuk tidak sowan ke orang tua dan sanak keluarga masing-masing.

Nah, khusus untuk warga kampus saya. prosesi akhir Romadhon tahun ini juga lebih wah dan penuh perjuangan, tidak hanya untuk lailatul qodar, mudik, dan laen sebagainya....
tetapi juga perjuangan akhir menuju gerbang Wisuda (baca UKT a.k.a Ujian Komprehensif Tertulis). Tahap ini mungkin dirasakan klise karena hanya mendasarkan pada satu ujian saja untuk menentukan kelulusan mahsiswanya. Namun saya yakin penetapan tahapan ini sebagai salah satu syarat kelulusan telah melalui fit and proper test dan bukan ujug-ujug datang dari langit.
Tahun ini sendiri, tahapan kegiatan tersebut memang cukup berbeda. Sebab kalau sebelumnya hanya mahasiswanya Pak Stice Skousen yang merasakan perjuangan tersebut. Maka sejak tahun ini seluruh warga Jurangmangu calon pegawai Gatot Subroto dan Lapangan Banteng dan sekitarnya tidak terkecuali wajib merasakannya. Hehehehe rame pokoknya.
Proses itupun saat ini, telah mencapai tahap akhir. Terbukti tadi sekretariat (kalau dikampus lain namanya rektorat) telah mengumumkan kelulusan tahap I untuk beberapa spesialisasi di kampus. Hasilnya..........
WOW rekor besar..... total sekitar 150-an anak yang dipastikan harus mengadu peruntungan mereka pada ujian tahap II. jumlah ini cukup mencengangkan bagi saya karena mencapai lebih dari 1/3 jumlah mahasiswa pada spes yang bersangkutan. sekedar mengingat sejarah kampus khususnya masalah per-UKT-an, persentase ketidak lulusan paling mentok hanya di kisaran 5%. Itupun terjadi pada tahun-tahun awal diselenggarakannya UKT.

Banyak mahasiswa yang terkejut, shock, dilanda ketakutan akut (baik dari yang tidak beruntung atau yang memulai peruntungannya minggu depan) disamping ucapan rasa syukur yang tidak berkesudahan bagi mereka-mereka yang berhasil melewatinya. Saya pribadi selain agak terkejut juga ikut tertarik untuk menanggapinya. Saya jadi mengingat-ingat kejadian beberapa hari ini. Beberapa waktu lalu ketika saya diundang untuk iftor jama'i oleh salah satu group mahasiswa, sempat terlontar dari mereka bahwa hajatan akhir masa kuliah tersebut hanya merupakan formalitas belaka.
Pendapat yang secara umum muncul saat itu secara umum adalah khawatir tetapi menggampangkan. Karena toh pada akhirnya mereka nanti akan lulus atau "diluluskan". Pandangan ini dipertegas ketika saya melihat status beberapa dari mereka di jejaring social, komen dan pendapat mereka semakin mengukuhkan pendapat tersebut. Bahkan beberapa dari mereka menyatakan, asal masih dalam distribusi normal pasti lulus, sehingga tak usahlah bersusah payah untuk belajar dan memahami materi yang nanti akan diujikan. Toh hanya O (nol) sks, itupun  hanya sekedar pelaksanaan anggaran belaka (menurut persepsi mereka).
Ketika mendengar perkataan dan pendapat mereka saya hanya bisa mengelus dada…terdapat sesuatu yang tidak benar ini. Paradigma mahasiswa terhadap sekretariat dan pola pendidikan kampus sudah tidak lagi bisa dikatakan sehat. Sebab dilihat dari banyak hal dan berbagai sudut pandang manapun, telah terjadi suatu pergeseran dan perubahan mendasar dalm berfikir.
Apa jadinya jika sebuah institusi pendidikan tidak lagi mampu mempertahankan kredibilitasnya di mata para mahasiswanya.
Yang bisa saya simpulkan untuk kejadia tersebut adalah, adanya “keberanian” sekre saat ini untuk mendobrak paradigm dan kebiasaan yang sudah berlangsung beberapa tahun. Bahwa kelulusan memang ditentukan oleh kualifikasi minimal yang diperlukan bukan paring-paring (belas kasihan/sedekah kepada fakir miskin).
It’s OK, bahwa peningkatan kualitas lulusan harus dilakukan walaupun itu berarti terdapat mahasiswa yang mengulang tahun depan. Terdengar SADIS dan KEJAM memang. Namun menilik kejadian selama beberapa tahun ini sepertinya apa yang baru saja terjadi saat ini memberikan pelajaran besar bagi kita semua. Yang lebih penting dalam hal ini adalah meluruskan kembali paradigm banyak pihak yang terlanjur melenceng.
Sebab kalau kita mau jujur, tanyakan kepada pihak-pihak yang harus mengadu ditahap II tersebut. Apakah usaha yang mereka upayakan sudah cukup maksimal??? Saya katakan maksimal disini adalah bahwa mereka telah menyerahkan segenap upaya untuk dapat lulus??? Atau hanya sekedar menginginkan belas kasih distribusi normal???
Justifikasi yang bisa dilakukan adalah pernyataan mereka yang tidak mau dibandingkan dengan kaum elite tiap spesialisasi yang berebut jabatan Mankeu ketika di Sentul nanti. Namun dari sudut pandang saya, itulah yang salah selama ini….. Karena dilihat dari inputnya, mereka sama-sama bersaing secara sehat tiga tahun lalu (saya rasa tidak ada mahasiswa yang masuk dengan jalur kotor, kalaupun ada silahkan mengaku. InsyaAlloh saya akan dengan suka rela membantu protes untuk memberikan perlakuan khusus kepada yang bersangkutan) jadi yang beda adalah Usaha masing-masing mahasiswa untuk mau dan mampu menyerap apa yang disampaikan (ingat pepatah, sekeras-keras air toh akan terkikis oleh batu).
Jika mereka kaum elite mau dan harus bersusah payah dengan begadang ria! Apakah pantas mereka yang tidak lulus hanya berusaha dengan sekedarnya, disambi dengan ngopi di warung mamat??? Tentunya kalau kita berfikir logis dan sedikit mengesampingkan ego dan kekecewaan, saya yakin jawaban kita akan sama. jadi berhentilah menyalahkan sekre... dan orang lain.
Terakhir mengingat kata-kata bijak orang barat sana “No Pain No Gain”. Jadi berhentilah mengharap paring-paring…… toh kalian sudah tingkat III.

3 komentar:

  1. walah kok gak ada yang komen
    saya gak pernah mikir paring" lho pak
    kelulusan saya ya ditentukan saya sendiri
    hasil usaha saya sendiri
    benar kata bapak
    no pain no gain, no cash no gain recognized

    BalasHapus
  2. wah, nice info pak... makasih

    BalasHapus
  3. >> hohohoho
    mksih dah komen ya Dead
    yakin lah kalo deady mah sama usahanya saya
    sukses ya

    >> jangan jadi mahasiswa paring"
    hehehehe

    BalasHapus